Sabtu, 26 Januari 2008

Identitas Indonesia yang Terlupakan

Oleh : ANDREAS MARYOTO
Orang dengan mudah mengingat Kosta Rika sebagai Negeri Pisang. Belanda tenar dengan sebutan Negeri Bunga Tulip. Orang Selandia Baru senang apabila disebut berasal dari Negeri Kiwi. Jepang masyhur dengan Negeri Sakura. Sebenarnya Indonesia memiliki identitas yang tidak kalah hebat, tetapi telah lama dilupakan.
Seorang kenalan yang berkewarganegaraan Belanda mengingatkan kepada saya tentang kelemahan orang Indonesia yang mudah melupakan sejarahnya sehingga tidak memiliki orientasi yang jelas. Padahal, orang atau bangsa yang percaya diri selalu memahami sejarahnya.
Kenalan saya itu kemudian bercerita panjang lebar tentang negara-negara yang maju. Kemajuan tercapai karena warga negara-negara itu memiliki kebanggaan nasional yang terbentuk dari sejarah panjang negerinya. Ia terus bertutur tentang kebanggaan nasional yang tidak harus berupa kemajuan teknologi yang jauh di atas awang-awang.
Di negeri kecil seperti Selandia Baru, mulai dari pejabat, artis, hingga orang kebanyakan merasa bangga dengan sebutan Negeri Kiwi. Di dalam pesawat terbang, promosi buah kiwi pun selalu diselipkan. Identitas itu begitu kuat sehingga memunculkan kebanggaan bagi warga negaranya.
Cerita lainnya tentang Kosta Rika, negeri kecil di Amerika Latin. Pertanian dan industri pisang telah menjadi penghasil devisa negara ini. Dalam setahun setidaknya terdapat ekspor 90 juta boks pisang. Pengembangan komoditas ini menjadikan Kosta Rika, yang semula produsen pisang nomor dua, kini menjadi nomor satu setelah mengalahkan kemampuan Ekuador.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Semula saya menduga identitas Indonesia lebih cocok dengan tanaman padi. Paling tidak, sejak kanak-kanak kita dengan mudah menemukan tanaman padi tidak jauh dari rumah. Murid-murid sekolah dengan mudah melihat padi dan kapas pada lambang negara.
Ungkapan kemakmuran yang diucapkan pejabat juga terkait dengan pertanian tanaman padi sehingga memunculkan citra di dalam benak bahwa negeri ini adalah negeri tanaman padi. Akan tetapi, identitas ini tidak mewakili citra seluruh negeri ini. Tanaman padi hanya ditemukan di wilayah tertentu di Sumatera, Jawa, dan sebagian kecil Sulawesi bagian selatan.
Persoalan pemilihan identitas bangsa mudah memunculkan perdebatan. Paling mendasar, sejauh mana identitas itu mewakili pandangan semua pihak yang hidup di sebuah negara. Untuk hal yang satu ini, Indonesia memang mengalami kesulitan karena negeri kepulauan dengan berbagai variasi, mulai dari bahasa, suku, hingga adat yang bermacam-macam.
Akan tetapi, pelajaran yang paling berharga yang diberikan para pendiri bangsa ini adalah ketika para Bapak Bangsa memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pilihan ini, meski tidak mewakili kelompok pengguna bahasa terbesar di negeri ini, diterima oleh semua pihak. Sebagai gambaran, saat itu penggunaan bahasa Melayu hanya sekitar delapan juta orang, sedangkan bahasa Jawa mencapai 40 juta orang.
Pilihan para Bapak Bangsa negeri ini sungguh tepat. Bahasa Melayu, meski jumlah penuturnya kecil, karena telah lama dipakai sebagai bahasa perhubungan, digunakan di berbagai wilayah mulai dari Sumatera hingga pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur.
Kita bisa membayangkan apabila bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa nasional, kita akan menemui kesulitan. Hal itu terjadi karena bahasa Jawa memiliki tingkatan-tingkatan dan jumlah penuturnya tidak tersebar di berbagai tempat sehingga sulit diterima semua pihak.
Negeri rempah-rempah Kembali ke persoalan komoditas pertanian sebagai identitas bangsa, kita telah melupakan bahwa negeri ini dikenal sebagai negeri rempah-rempah (spice island). Identitas negeri ini lebih tepat disebut sebagai negeri rempah-rempah karena kita mudah menemukan komoditas ini di berbagai tempat dari Sabang sampai Merauke dibandingkan, misalnya, dengan padi yang mayoritas hanya dihasilkan di Pulau Jawa.
Rempah-rempah yang terdiri, antara lain, dari jahe, lada, cengkeh, pala, kunyit, dan kayu manis mudah ditemukan di berbagai tempat di negeri ini. Dari data Statistik Perdagangan Internasional (ITC), Indonesia juga pantas disebut sebagai negeri rempah-rempah.
Pada tahun 2000 Indonesia merupakan eksportir rempah-rempah nomor satu di dunia dengan nilai ekspor 317 juta dollar AS meski pada tahun 2004 jatuh menjadi nomor tiga dengan nilai 165 juta dollar AS di bawah China dan India.
Rempah-rempah pula yang telah mengubah dunia ketika bangsa Barat mulai berlayar ke Timur untuk mencari negeri asal rempah-rempah. Orang Eropa pada abad ke-16 menjelajah samudra dan harus berperang karena mencari sumber rempah-rempah. Mereka meninggalkan negerinya hingga ribuan kilometer untuk menemukan negeri yang menjadi pemasok rempah-rempah.
Dalam sebuah situs internet disebutkan, bangsa Eropa mulai tertarik kepada Nusantara terutama karena wilayah itu menghasilkan rempah-rempah. Bagi bangsa Eropa, rempah-rempah bukan sekadar rasa, tetapi juga merupakan kebutuhan untuk penghangat tubuh saat musim dingin dan mereka harus mengawetkan daging dengan menggunakan garam dan rempah-rempah.
Bangsa Eropa pertama yang datang ke Nusantara adalah Portugis. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kepulauan rempah-rempah.
Tahun 1511 orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque menaklukkan Malaka yang merupakan pelabuhan rempah-rempah yang penting. Mereka kemudian menuju bagian timur Nusantara, seperti Ternate, yang merupakan sumber utama rempah-rempah.
Pada pertengahan abad ke-16, Portugis mulai memindahkan ketertarikan mereka dari kepulauan rempah-rempah ke tempat-tempat lain di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, sementara negara-negara Eropa lainnya, seperti Spanyol, Belanda, dan Inggris, mengirimkan kapal-kapal ke wilayah Nusantara.
Jati diri Kembali ke cerita kenalan saya di atas, ia mengatakan, seharusnya bangsa Indonesia bangga dengan identitas negeri rempah-rempah. Semua kalangan, mulai dari presiden, seniman, artis, hingga masyarakat biasa, harus mempromosikan komoditas ini. Maskapai penerbangan paling efektif digunakan untuk media promosi.
Kemudian, penelitian secara ilmiah dilakukan untuk menunjang promosi rempah-rempah. Pembuatan produk dengan bahan baku rempah dan berbagai aksesori dengan tema rempah-rempah akan makin mengangkat citra negeri ini, di samping mengembalikan Indonesia menjadi eksportir rempah nomor satu di dunia.
Jadi, agak aneh kalau lambang kementerian pariwisata malah memunculkan gambar candi yang sebenarnya tidak mewakili citra seluruh negeri ini. Lambang pala atau cengkeh mungkin lebih tepat untuk identitas negeri ini.
Apabila identitas negeri rempah-rempah itu tidak segera dikembalikan, jangan heran jika suatu saat sebutan negeri rempah-rempah diambil negara lain, seperti Thailand yang terkenal dengan makanan beraroma rempah atau Jamaika dan Grenada yang juga mulai dikenal sebagai negeri rempah-rempah.
Di tengah proses pencarian identitas keindonesiaan, sebutan negeri rempah-rempah akan mempertebal identitas warga negara Indonesia. Sebutan negeri rempah-rempah akan menjadikan warga negara Indonesia memiliki identitas yang jelas.

Tidak ada komentar: